REFORMASI
GRADUAL:
MEMBANGUN KONTRA BUDAYA YANG POSITIF
Mari
kita amati kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Tentunya jika kita
berbicara tentang bangsa Indonesia maka berbicara bernegara Indonesia.
Tatkala kita berbicara bangsa dan negara Indonesia kita tidak bisa luput
dari keberadaan Indonesia di dunia internasional. Tatkala kita berada
di lingkungan dunia internasional maka kita harus membaca posisi kita;
sebagai pendidik kita harus bisa membaca posisi Indonesia di Dunia.
Secara kuantitatif
penduduk dunia pada tahun 1999 mencapai 5.977.539.000. Akhir 2001 diperkirakan
berjumlah 6.1 milyar. Perkembangan penduduk dunia hari ini 14 % dalam
sepuluh tahun sehingga populasi dalam sepuluh tahun mendatang menjadi
6.818.468.000 jiwa. Secara umum penduduk dunia itu terdapat di beberapa
benua. Afrika, benua yang begitu besar hanya di huni 772.801.000 jiwa,
benua Amerika yang begitu luasnya hanya 805.724.000 jiwa; lalu Asia walaupun
besar, termasuk Indonesia, menempati jumlah penduduk terbesar yaitu 3.936.900.000
jiwa, sedangkan Eropa yang tidak seberapa besar itu mempunyai penduduk
727.290.480, cukup besar. Lalu yang paling kecil adalah wilayah Oseania,
termasuk Australia dengan 30.268.000 jiwa.
Sementara itu, Indonesia yang ada di Asia ini masuk ke posisi ke empat
terbesar berdasarkan perhitungan jumlah penduduk tahun 1999 dengan jumlah
penduduk 206.143.000 orang. Jika di proyeksikan seperti tadi maka pada
tahun 2010 jumlahnya akan 237 juta. Bahkan, jika perkembangan penduduknya
setiap tahun mencapai 1.5 % maka sangat mungkin pada tahun 2010 penduduk
Indonesia berjumlah 250 juta. Cina merupakan negara dengan penduduk terbesar
dengan 1.251.238.000 jiwa. Disusul India dengan 849 juta, Amerika Serikat
dengan 273.131.000. Jadi menurut jumlah penduduk, Indonesia bersaing dengan
Amerika Serikat.
Secara pribadi, jumlah yang banyak tersebut tentu sangat menggembirakan.
Mengapa gembira? Karena di dalam penduduk Indonesia (yang dinamakan bangsa
Indonesia) itu mayoritas penduduknya adalah muslim. Tatkala kita bicara
mayoritas muslim yang 90% daripadanya – sekitar 180 juta –
maka kita gembira dan memandangnya dengan positif thinking. Bayangkan
jika dijajarkan dari Maroko sampai Saudi Arabia dan yang paling barbaratnya
adalah Oman, maka jumlah penduduk muslimnya masih di bawah Indonesia.
Jadi jika negara-negara Arab kumpul semua, jumlah penduduk muslimnya masih
di bawah jumlah penduduk muslim di Indonesia. Modal itu jika kita terima
dengan positif thinking dan ditata secara modern serta demokratis, maka
suatu saat nanti manusia Indonesia adalah muslim terbesar di dunia yang
bemegara secara demokrasi. Suatu saat nanti yang akan menjadi simbol terbesar
demokrasi di dunia adalah Indonesia. Berpikirlah dengan positif thinking
; kita tidak boleh menafikan sumber daya manusia (SDM) Indonesia itu.
Bukankah untuk sebuah kemajuan, negara itu harus dilihat dulu potensi
jumlah tenaga kerja yang dimilikinya. Bukankah jumlah penduduk yang besar
menyediakan tenaga kerja Yang besar?
Namun di sisi lain kita mengenal ada bahasa ‘tenaga kerja murah’
dan ada ‘tenaga kerja mahal’. Konon Indonesia ini termasuk
yang tenaga kerja murah. Betulkah itu? Data tahun 2001 tenaga kerja Indonesia
berjumlah 89.857.000. Bagaimana kualitas tenaga kerja yang hampir 100
juta ini. Ternyata yang menduduki adalah tenaga kerja yang tidak pernah
sekolah. Tenaga kerja tidak tamat SD dan tenaga kerja hanya tamat SD yang
jumlahnya mencapai 62,11%. Biasanya yang tidak berpendidikan atau yang
pendidikannya terbatas hanya pada tingkat dasar saja, mereka mudah di
eksploitir oleh kekuatan pemilik modal dan juga kekuatan lainnya. Mereka
mudah diarahkan kepada sikap yang dekstrutif dibandingkan dengan sikap
konstruktif. Itulah mengapa sering terjadi demonstrasi-demontrasi tenaga
kerja. Sementara itu tenaga kerja Indonesia yang sarjana (SI) hanya 24
%, lalu yang diploma I sampai III hanya 2,18%; yang menengah umum dan
kejuruan hanya 17% dan SMP hanya 15%. Maka kita harus punya visi khusus
dalam mengadapi bangsa Yang besar-dengan kualitas yang ditinjau dari tenaga
kerja yang seperti tadi.
Zaman sudah lain. Indonesia tidak bisa lagi diatur oleh kiyai yang hanya
berpikir wudlu! Kiyai harus hati-hati dalam memimpin abad modern dan super
modern ini. Hari ini negara-negara maju baik Eropa maupun Amerika-dan
yang lainnya-setiap hari berfikir bagaimana menganalisa sains dan teknologi;
be4rfikir bagaimana mengangkat kemiskinan di dunia ini; dan bagaimana
kebijakan politik untuk menata dunia. Sementara itu, ironisnya orang islam
masih berkecamuk dalam masalah khilafiyah fiqih. Bayangkan! Mampukah kita
mengejar perkembangan dunia yang serba cepat ini jika masih demikian?
Dengan melihat data bangsa yang seperti tadi maka harus diadakan perbaikan
kualitas bangsa Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika (Unity in Diversity)
ini. Dalam menghadapi bangsa yang seperti ini, kita tidak boleh ekslusif,
kita harus toleran, kita harus mendahulukan damai dan toleransi. Perbaikan
kualitas bangsa ini harus ditempuh-utama dan terutama melalui pendidikan.
Bukan melalui reformasi yang tanpa persiapan, sebab itu bukan reformasi
namanya.
Pendidikan itu proses yang panjang, yang tak henti-hentinya untuk mencapai
satu tujuan dan terbuka untuk menerima ide-ide dan konsep-konsep baru.
Itu makna pendidikan, sehingga suatu saat hasil dari pendidikan itulah
yang akan menumbuhkan budaya baru dengan manusia yang cerdas. Selama manusianya
cerdas maka ia mempunyai kebijakan dan kebajikan dalam jiwanya. Barulah
setelah itu dia mampu menguasai sains dan teknologi. Budaya baru itulah
yang menjadi kontra budaya yang kemudian masuk ke dalam tatanan menjadi
masyarakat (budaya) alternatif yang akan dipilih oleh bangsa ini: “ketika
manusia tidak bisa bersatu, kita harus buat kontra budaya melalui sebuah
masyarakat yang bisa bersatu. Ketika manusia tidak bisa membangun, kita
bisa membangun. Ketika masyarakat susah menggali dana, kita tampilkan
masyarakat yang mudah menggali dana. Ini namanya kontra budaya yang positif.
Sekali lagi, dalam perjalanan membangun umat manusia, harus tumbuh suatu
kontra budaya.” Itulah sesungguhnya reformasi, sebuah reformasi
gradual yang tak terasa tapi pasti.
Bangsa-bangsa maju itu tidak menjadikan ciri kemajuannya seperti Prancis.
Itu Cuma sebagai semangat. Semuanya melalui pendidikan yang tertata rapi:
pendidikan yang mampu mencerdaskan, mampu menumbuhkan jiwa-bajik dan bijak-dan
menguasai sains dan teknologi. Itulah nanti yang akan mengubah bangsa
Indonesia menjadi Indonesia baru.
Disarikan dari tausyiyah Syaykh A.S Panji Gumilang dalam
Qabliyah Ju,mat 11 Januari 2002. Disampaikan tanpa teks.
|